Hujan mengguyur bumi sangat lebat. Angin bertiup kencang. Kilat menyambar, guntur menggelegar. Pohon-pohon dengan susah payah bertahan dari terpaan angin.
Sebuah pohon akasia tumbang di pinggir jalan. Padahal sebelumnya ia tampak kokoh berdiri. Daunnya rimbun, batangnya kuat, dahan dan rantingnya segar. Tapi ia tumbang tak berdaya. Bukan batangnya yang patah, tapi akarnya yang tercerabut dari tanah.
Sebuah pohon akasia lain yang tidak ikut tumbang menyalahkan angin,"hei angin, gara-gara engkau kawanku jadi tumbang, engkau harus bertanggung jawab".
"He he he jangan gampang menyimpulkan dan menuduh kawan, temanmu itu rubuh bukan karena aku, tapi salah dia sendiri. Buktinya ya kamu sendiri dan pohon-pohon lain yang tidak tumbang. Kan semua juga tertiup olehku, tapi tidak tumbang. Berarti temanmu yang tumbang itu bukan karena aku, tapi karena kesalahan dirinya sendiri".
"Wah aku tidak mengerti cara berfikirmu angin. Faktanya, kau yang bertiup kencang lalu kawanku tumbang. Padahal sewaktu engkau bertiup biasa-biasa saja, dia tetap berdiri anggun. Jadi itu pasti karena kau. Pokoknya engkau harus bertanggung jawab. Kalau kau ngotot menyangkal, saya akan galang pembentukan pansus, ini sudah jelas krisis angin sistemik".
"Menggelikan sekali kamu kawan, sudah tidak mau mengakui kesalahan sendiri, ikut-ikutan manusia lagi bilang sistemik dan mau bikin pansus. Nanti kalau pansusnya memble, aku lagi yang dibawa-bawa, dikatakan pansus masuk angin".
"Apa boleh buat, memang harus begitu, karena kau betul-betul angin, angin-anginan dan sulit dipegang kata-katanya".
"Sudahlah kawan, tidak usah berbelit-belit. Ini bukan urusan pansus-pansusan. Ini juga bukan karena ada angin ribut. Lihat saja temanmu yang tumbang itu. Betul dari luar dia tampak rimbun dan tidak ada cacat. Tapi dia tumbang karena akarnya putus".
"Tapi yang bikin putus akarnya kan kamu? Kau tiup dia kencang sekali, kau goyang dia".
"Tunggu dulu kawan, jangan langsung menyela, kamu kayak anggota pansus betulan. Akar kawanmu itu memang lapuk dan sudah membusuk. Bahkan tidak hanya pada akarnya, tapi sudah menjalar ke bagian dalam batangnya. Akarnya lapuk, batangnya juga lapuk di dalam. Itulah penyebabnya".
"Tapi kenapa dia lapuk? Bukankah dia seperti aku, tumbuh gagah dan rimbun seperti ini?"
"Ya memang seperti itu, di luar tampak gagah tapi di dalam lapuk. Soal tumbangnya sudah pasti, tinggal tunggu waktu, bukan karena angin".
"Kalau begitu maaf deh angin, aku sudah sadar sekarang. Wah bahaya juga pelapukan itu ya?".
"Memang bahaya. Itulah yang dinamakan akibat korupsi".
"Lho kok korupsi? Apa hubungannya dengan korupsi. Pohon lapuk akar dan batangnya kok disebut korupsi?".
"He he he korupsi itu asal katanya bahasa Latin, corruptio, artinya melapuk".
"Jadi, kalau manusia korupsi itu juga melapuk? Bagaimana itu?"
"Betul sekali, manusia yang korupsi itu, adalah orang yang lapuk di dalam seperti temanmu yang tumbang ini. Nuraninya yang lapuk".
--------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Sebuah pohon akasia tumbang di pinggir jalan. Padahal sebelumnya ia tampak kokoh berdiri. Daunnya rimbun, batangnya kuat, dahan dan rantingnya segar. Tapi ia tumbang tak berdaya. Bukan batangnya yang patah, tapi akarnya yang tercerabut dari tanah.
Sebuah pohon akasia lain yang tidak ikut tumbang menyalahkan angin,"hei angin, gara-gara engkau kawanku jadi tumbang, engkau harus bertanggung jawab".
"He he he jangan gampang menyimpulkan dan menuduh kawan, temanmu itu rubuh bukan karena aku, tapi salah dia sendiri. Buktinya ya kamu sendiri dan pohon-pohon lain yang tidak tumbang. Kan semua juga tertiup olehku, tapi tidak tumbang. Berarti temanmu yang tumbang itu bukan karena aku, tapi karena kesalahan dirinya sendiri".
"Wah aku tidak mengerti cara berfikirmu angin. Faktanya, kau yang bertiup kencang lalu kawanku tumbang. Padahal sewaktu engkau bertiup biasa-biasa saja, dia tetap berdiri anggun. Jadi itu pasti karena kau. Pokoknya engkau harus bertanggung jawab. Kalau kau ngotot menyangkal, saya akan galang pembentukan pansus, ini sudah jelas krisis angin sistemik".
"Menggelikan sekali kamu kawan, sudah tidak mau mengakui kesalahan sendiri, ikut-ikutan manusia lagi bilang sistemik dan mau bikin pansus. Nanti kalau pansusnya memble, aku lagi yang dibawa-bawa, dikatakan pansus masuk angin".
"Apa boleh buat, memang harus begitu, karena kau betul-betul angin, angin-anginan dan sulit dipegang kata-katanya".
"Sudahlah kawan, tidak usah berbelit-belit. Ini bukan urusan pansus-pansusan. Ini juga bukan karena ada angin ribut. Lihat saja temanmu yang tumbang itu. Betul dari luar dia tampak rimbun dan tidak ada cacat. Tapi dia tumbang karena akarnya putus".
"Tapi yang bikin putus akarnya kan kamu? Kau tiup dia kencang sekali, kau goyang dia".
"Tunggu dulu kawan, jangan langsung menyela, kamu kayak anggota pansus betulan. Akar kawanmu itu memang lapuk dan sudah membusuk. Bahkan tidak hanya pada akarnya, tapi sudah menjalar ke bagian dalam batangnya. Akarnya lapuk, batangnya juga lapuk di dalam. Itulah penyebabnya".
"Tapi kenapa dia lapuk? Bukankah dia seperti aku, tumbuh gagah dan rimbun seperti ini?"
"Ya memang seperti itu, di luar tampak gagah tapi di dalam lapuk. Soal tumbangnya sudah pasti, tinggal tunggu waktu, bukan karena angin".
"Kalau begitu maaf deh angin, aku sudah sadar sekarang. Wah bahaya juga pelapukan itu ya?".
"Memang bahaya. Itulah yang dinamakan akibat korupsi".
"Lho kok korupsi? Apa hubungannya dengan korupsi. Pohon lapuk akar dan batangnya kok disebut korupsi?".
"He he he korupsi itu asal katanya bahasa Latin, corruptio, artinya melapuk".
"Jadi, kalau manusia korupsi itu juga melapuk? Bagaimana itu?"
"Betul sekali, manusia yang korupsi itu, adalah orang yang lapuk di dalam seperti temanmu yang tumbang ini. Nuraninya yang lapuk".
--------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Kolom Gelitik - Harian Fajar 22 Januari 2010
http://www.facebook.com/note.php?note_id=305054912924