Minggu, 27 November 2011

Gelitik: Hak Gertak Wakil Rakyat

Oleh Fuad Rumi

Wakil rakyat sekarang, tidak sama dengan wakil rakyat dulu, pada zaman orba. Ada yang bilang, pada zaman orba, wakil rakyat bukan sungguhan, sebab mereka tidak dipilih langsung oleh rakyat. Yang dipilih hanya tanda gambar partai, lalu partai sendiri yang menentukan siapa orang-orangnya yang duduk di lembaga yang terhormat itu (DPR/DPRD). 

Yang dipilih oleh partai harus jadi "anak manis", sebab kalau tidak, suka buka mulut sembarangan, tidak lama kemudian akan kena recall. Itu artinya celaka dua belas, belanga di rumah bisa pecah.

Wakil rakyat zaman reformasi sudah lain. Semuanya berani buka mulut unjuk gigi dan unjuk suara. Kalau dulu ada joke, untuk periksa gigi, seorang wakil rakyat harus pergi ke luar negeri, paling kurang ke Singapura. Masalahnya bukan untuk keren-kerenan, tapi di dalam negeri mereka tidak berani buka mulut.

Padahal untuk periksa gigi, mulut harus dibuka lebar-lebar. Di zaman reformasi, wakil rakyat malah keseringan buka mulut (belum termasuk buka mulut ketika menguap karena mengantuk di sidang paripurna, he... he... he...).

Karena keterhormatannya diatur dan dijamin undang-undang, wakil rakyat punya rupa-rupa hak. Ada hak budget yang menentukan kemana isi kantong negara digunakan, ada hak angket yang bisa mempertanyakan segala soal, ada pula hak interpelasi. Hak-hak tersebut sungguh luar biasa, sebab menentukan pemerintah boleh bikin apa, dan rakyat nasibnya bagaimana.

Kalau pemerintah tidak pandai-pandai ambil hati wakil rakyat, salah-salah banyak anggarannya tidak disetujui, lalu kinerjanya jadi memble. Makanya, pemerintah tidak mau main-main ambil risiko tidak peduli pendapat wakil rakyat kita yang terhormat.

Menjadi wakil rakyat memang tidak gampang. Sebab kalau mendengar wakil rakyat kita bicara rasanya mereka memang serba tahu. Tidak ada urusan yang tidak mereka tahu. Makanya, bagi yang bercita-cita ingin menjadi orang terhormat, menjadi wakil rakyat, tidak boleh sembarangan. Apalagi mau coba-coba pakai ijazah palsu atau asli tapi palsu.

Karena wakil rakyat serba tahu, maka pemerintah tidak boleh sembarangan bikin kebijakan atau ambil keputusan. Salah sedikit wakil rakyat akan mempertanyakan. Seperti dikatakan tadi, mereka punya yang namanya hak interpelasi atau hak angket. Selama masa pemerintahan SBY-JK, hitung-hitung paling tidak sudah tiga kali hak interpelasi mau digunakan oleh wakil rakyat.

Sewaktu harga BBM mau dinaikkan untuk kedua kalinya pada tahun 2005, wakil rakyat kita ribut mau mengajukan hak interpelasi. Kenaikan harga BBM mau "diusut" habis-habisan. Tapi sayang hak istimewa itu tidak jadi digunakan, RAPBN 2005 disetujui DPR termasuk harga BBM. Juga termasuk gaji wakil rakyat dinaikkan.

Tak lama kemudian menyusul lagi, ada keinginan beberapa anggota DPR dan fraksi mau mengunakan interpelasi tentang teleconference presiden dari luar negeri. Konon biayanya terlalu mahal. Namun, sayang lanjutannya juga jadi "memble" di tengah jalan. Yang terakhir dan cukup panas, yaitu rencana hak interpelasi wakil rakyat soal impor beras. Beritanya heboh berhari-hari di media massa.

Tapi, yang terjadi kemudian, setelah ada lobi sana-sini, menteri dari parpol dipanggil dan dikumpul oleh presiden, tidak lama kemudian, di rapat paripurna, DPR memutuskan hak interpelasi impor beras tidak jadi digunakan. Jadi sekarang ada fenomena baru di Senayan.

Sudah tiga kali ada hentakan wakil rakyat mau bikin interpelasi, heboh sebentar, tapi kemudian tidak jadi dilakukan. Rakyat awam lalu memahaminya hanya sebagai gertak sambal saja. Barangkali memang wakil rakyat kita perlu tambah sebuah hak baru, namanya hak gertak. 

----------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Gelitik :: Fuad Rumi
http://groups.yahoo.com/group/pelajar_islam_indonesia/message/6957?var=1