Minggu, 27 November 2011

Gelitik: Kerbau Mengeluh Kepada Kutu


oleh Fuad Rumi pada 14 Februari 2010 jam 7:43

Sehari sesudah digunakan berdemo oleh para pendemo, kerbau yang tubuhnya dicat Si BuYa mengeluh kepada kutu-kutu yang banyak ngendon di punggungnya.

"Para pendemo itu sungguh telah menyiksaku. Bayangkan, badanku kepanasan dipanggang terik matahri ketika mereka membawaku demo. Padahal mereka seharusnya tau, aku ini tidak tahan panas. Aku harus sering nyebur di air atau berkubang di lumpur, agar badanku tetap sejuk".

"He he he kebo, mereka bukan hanya menyiksamu dengan panas terik, tapi juga merusak kealamian tubuhmu. Mereka menyemprotkan cat ditubuhmu, padahal itu kan zat kimia?"

"Ya begitulah, para pendemo itu tidak tau menempatkan sesuatu pada tempatnya. Mereka yang punya urusan, kenapa kita dibawa-bawa? Lagi pula mengapa harus aku? Mengapa bukan kamu, hei kutu".

"He he he tentu saja aku tidak cocok diperalat untuk demo, tubuhku kan kecil, tidak ditangkap kamera. Padahal yang penting bagi pendemo itu kan tertangkap kamera, lalu masuk tv".

"Apa sih sebenarnya maksud mereka? Kenapa aku, kerbau, bukannya gajah yang lebih besar atau harimau yang lebih seram?".

"Kalau itu sih mana aku tahu? Tanya saja langsung pada pendemo-pendemo itu. Mereka itu kan orang-orang pandai. Yang aku dengar sih, mereka bilang bahwa kau hanyalah simbol".

"Simbol? Simbol apaan? Kerbau ya kerbau saja. Kutu ya kutu saja. Tidak usah pakai istilah simbol-simbol segala, bikin bingung".

"Benar juga katamu kebo. Sedangkan diucapkan langsung sejelas-jelasnya saja, orang-orang pintar itu sendiri sepertinya tidak ngerti. Ini mau pakai simbol-simbol segala".

"Makanya, aku tidak habis pikir apa sih maunya mereka?"

"Ah kebo, tidak usah deh banyak mengeluh. Masa kau mengeluh sama aku. Aku ini kan hanya kutu. Seperti dalam kehidupan orang-orang itu, aku ini hanya rakyat celaka...eh rakyat jelata. Masa kebo mengeluh sama rakyat jelata. Malu dong".

"Ah kau ini dasar kutu, aku tidak mengeluh, tahu? Aku hanya mau memberitahu kamu supaya kamu bisa menilai dengan fair. Apalagi mereka menulisi tubuhku dengan nama Si BuYa. Tahu ndak kamu, Buya itu gelar ulama".

"He he he tidak usah lagi tambah persoalan kebo. Jangan lebay, jangan suka melebih-lebihkan".

"Hei kutu, kau tidak usah ikut-ikutan mau mengajari aku. Siapa bilang aku lebay. Kau juga sudah ketularan pendemo-pendemo itu. Kau tidak tahu terimakasih menempel di tubuhku, tapi membela mereka".

"Keboooo .....kebo. Kamu itu kelihatannya saja pendiam, tapi kalau ngomong tidak mau kalah. Selalu berkilah. Sudah deh lupakan saja ulah pendemo-pendemo itu terhadapmu. Yang perlu kau cari tahu apa tujuan mereka. Apa isi kritik mereka. Itu lebih bermanfaat daripada kau marah-marah merasa dibikin panas dipanggang terik matahari. Itu tidak menyelesaikan persoalan. Tidak substansial he he he".

"Kutu, kamu itu sok pintar. Ikut-ikutan bilang substansial segala. Kau tidak usah mengajari aku soal substansial. Kamu hanya kutu kecil, terus numpang makan di tubuhku. Kalau bukan aku, siapa memberimu makan. Kalau kamu hidup di tanah, kamu sudah habis diinjak-injak. Kamu ....."

"Stop! Cukup kebo. Semakin banyak kamu bicara semakin meyakinkan, kamu tidak peduli kutu-kutu kecil seperti aku. Kamu hanya sibuk urus dirimu sendiri".

-------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Harian Fajar, Kolom Gelitik, Jumat 12 Februari 2010
http://www.facebook.com/note.php?note_id=345539192924