Senin, 28 November 2011

Gelitik: Kopiah Haji dan Gelar Haji

Oleh Fuad Rumi | Gelitik Fajar | 11 November 2011 




Bagi kita orang indonesia, kopiah atau songkok putih yang sering kita sebut dengan songkok haji. yang boleh memakai songkok itu "hanya" orang (pria) yang sudah (menunaikan ibadah) haji.

Dulu, orang yang belum pernah naik haji, apalagi kalau dikampung, "takut" atau malu memakai songkok haji. Sebaliknya, orang yang sudah naik haji, pada umumnya tidak pernah melepas songkok haji itu. Bahkan diantaranya ada yang berkepercayaan bahwa kalo pulang menunaikan ibadah haji 40 hari tidak boleh melepas songkok haji tersebut.

Di Mekah, ketika sudah selesai merampungkan ibadah hajinya, diantara jemaah haji kita bahkan baru merasa afdhal pakai songkok haji, berikut sorban dan baju gamisnya setelah melalui sebuah prosesi kecil, dipakaikan songkok haji oleh seorang syekh. Prosesi ini diberi nama, 'mappatoppo'. Tentu saja, itu ada ongkosnya.

Benarkah songkok putih itu songkok haji? sebenarnya bukan. Ketika menunaikan ibadah haji, sebenarnya laki-laki malah dilarang menutup kepala atau pakai songkok. Jadi, sebenarnya tidak ada yang namanya songkok haji.

Songkok putih yang kita sebut songkok haji itu, adalah songkok tradisonal yang dipakai oleh orang arab, yang diantaranya ada yang bukan muslim.

Cerita lain tentang haji, di negeri kita kalau orang sudah menunaikan haji pada namanya ditulis inisial H atau Hi untuk haji laki-laki dan Hj untuk haji perempuan. Ada haji yang merasa tidak nyaman jika ia tidak disapa Pak Haji atau Bu Haji ketika menyebut namanya.

Itulah sedikit fenomena kultural masyarakat kita berkaitan dengan ibadah haji. Haji sekaligus melambangkan status sosial. Bisa di maklumi, sebab betapa berat perjuangan untuk menjadi seorang haji. Dulu, ketika alat transportasi udara belum ada, orang pergi haji berbulan-bulan lewat laut dan harus membawa bekal banyak.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Fuad Rumi
Disalin dari aslinya (Gelitik, Fajar 11 November 2011) 

sumber: http://lobelobenamakassar.blogspot.com/2011/11/kopiah-haji-dan-gelar-haji.html#ixzz1eyrdnqJl







Minggu, 27 November 2011

Gelitik: Duit Korupsi Dianggap Rezeki

oleh Fuad Rumi | 02 Maret 2007

      Sinetron Kiamat Sudah Dekat, yang disenangi presiden kita, SBY, punya lagu yang cukup menarik, menggelitik dan mengena. Salah-satu kalimatnya jadi judul tulisan ini.
      Dunia kalau sudah tua, banyak tanda-tanda mulai terbaca, semua serba terbalik, begitu lagu itu dimulai. Lalu lanjutnya, aduh zaman kok jadi kayak gini, sibuk berebut bukan saling memberi, hasil mencuri dibilang prestasi, duit korupsi dianggap rezeki.
      Bagus sekali, lagu itu seharusnya menggelitik nurani kita. Sekarang, nilai memang tampak terbalik-balik. Yang benar disalahkan orang, yang salah dianggap benar dan banyak penganut dan pengamalnya.
      Mari kita cuplik saja, satu baris kalimat lagu itu, "duit korupsi dianggap rezeki". Memangnya rezeki itu apa sih ? apakah segala sesuatu yang diperoleh, yang dianggap menyenangkan hati adalah rezeki ? apakah setiap rupiah yang didapat, walaupun dari hasil korupsi, adalah rezeki.
       Padahal kalau kita dapat rezeki, kita dianjurkan bersyukur kepada Tuhan, sebab Dialah yang memberi rezeki. Tuhan itu Ar Razzaq, Yang Maha Memberi Rezeki. Karena itu, kalau kita dapat rezeki, kita harus mengucapkan alhamdulillah.
      Lalu saya teringat cerita seorang teman. Konon, ada orang yang menenggak minuman keras. Setelah dia minum, dia bersendawa. Spontan dari mulutnya terucap alhamdulillah. Sambil terkekeh teman tadi bilang, itu alhamdulillahnya salah tempat, menenggak munuman yang diharamkan (dilarang) Tuhan, lalu mengucapkan syukur kepada Tuhan.
      Belum mau berhenti melucu, sang teman bercerita lagi. Katanya ada yang lebih serem. Orang yang baru keluar dari kamar prostitusi, sambil mengipas-ngipas badannya yang berkeringat mengucapkan Alhamdulillah berkali-kali. Yang ini, sama saja, dan bahkan lebih serem dari cerita pertama tadi. Alhamdulillahnya salah tempat.
      Cerita tentang duit korupsi yang dianggap rezeki, sebenarnya tidak beda dengan dua cerita di atas. Duit korupsi yang haram, sama saja dengan minuman haram dan kenikmatan seks haram yang diperoleh dari pelacur. Masa sih menikmati dosa sambilberucap syukur kepada Tuhan ?
      Jadi, duit korupsi sudah jelas jawabnya, bukan rezeki. Rezeki itu dari Tuhan, barangnya halal dan diperoleh secara halal. Makanya, nyanyian Sinetron Kiamat Sudah Dekat, memang tepat sekali melantunkan keheranan, "aduh zaman kok jadi kayak gini, hasil mencuri dibilang prestasi, duit korupsi dianggap rezeki".
      Tapi begitulah zaman sekarang ini, selain nilai terbalik-balik, juga campur aduk. Lalu teman yang bercerita tadi menambah cerita lagi. Katanya, ada orang ikut pilkada kabupaten, duitnya banyak tapi sebagian besar hasil korupsi. Lalu duit korupsi digunakan untuk kegiatan kampanye, termasuk kegiatan zikir, baca doa,  pengajian, menyantuni ini dan itu, sumbang mesjid, panti asuhan dan sebagainya. Sesudah itu dia menang pilkada, lalu bikin syukuran lagi, baca doa lagi, dan korupsi lagi he he he.

      Terhadap kenyataan seperti itu, kita tidak bisa bilang apa-apa lagi. Paling-paling sebagai katarsis, kita ikut menyanyikan lagu Kiamat Sudah Dekat itu, "inikah tanda kiamat sudah dekat, tapi kenapa orang-orang tak banyak bertobat", lalu sambung saja dengan lagu Ebit G Ade, "mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang".



 --------------------------------------------------
http://www.mail-archive.com/media-dakwah@yahoogroups.com/msg11282.html 











Gelitik: Hak Gertak Wakil Rakyat

Oleh Fuad Rumi

Wakil rakyat sekarang, tidak sama dengan wakil rakyat dulu, pada zaman orba. Ada yang bilang, pada zaman orba, wakil rakyat bukan sungguhan, sebab mereka tidak dipilih langsung oleh rakyat. Yang dipilih hanya tanda gambar partai, lalu partai sendiri yang menentukan siapa orang-orangnya yang duduk di lembaga yang terhormat itu (DPR/DPRD). 

Yang dipilih oleh partai harus jadi "anak manis", sebab kalau tidak, suka buka mulut sembarangan, tidak lama kemudian akan kena recall. Itu artinya celaka dua belas, belanga di rumah bisa pecah.

Wakil rakyat zaman reformasi sudah lain. Semuanya berani buka mulut unjuk gigi dan unjuk suara. Kalau dulu ada joke, untuk periksa gigi, seorang wakil rakyat harus pergi ke luar negeri, paling kurang ke Singapura. Masalahnya bukan untuk keren-kerenan, tapi di dalam negeri mereka tidak berani buka mulut.

Padahal untuk periksa gigi, mulut harus dibuka lebar-lebar. Di zaman reformasi, wakil rakyat malah keseringan buka mulut (belum termasuk buka mulut ketika menguap karena mengantuk di sidang paripurna, he... he... he...).

Karena keterhormatannya diatur dan dijamin undang-undang, wakil rakyat punya rupa-rupa hak. Ada hak budget yang menentukan kemana isi kantong negara digunakan, ada hak angket yang bisa mempertanyakan segala soal, ada pula hak interpelasi. Hak-hak tersebut sungguh luar biasa, sebab menentukan pemerintah boleh bikin apa, dan rakyat nasibnya bagaimana.

Kalau pemerintah tidak pandai-pandai ambil hati wakil rakyat, salah-salah banyak anggarannya tidak disetujui, lalu kinerjanya jadi memble. Makanya, pemerintah tidak mau main-main ambil risiko tidak peduli pendapat wakil rakyat kita yang terhormat.

Menjadi wakil rakyat memang tidak gampang. Sebab kalau mendengar wakil rakyat kita bicara rasanya mereka memang serba tahu. Tidak ada urusan yang tidak mereka tahu. Makanya, bagi yang bercita-cita ingin menjadi orang terhormat, menjadi wakil rakyat, tidak boleh sembarangan. Apalagi mau coba-coba pakai ijazah palsu atau asli tapi palsu.

Karena wakil rakyat serba tahu, maka pemerintah tidak boleh sembarangan bikin kebijakan atau ambil keputusan. Salah sedikit wakil rakyat akan mempertanyakan. Seperti dikatakan tadi, mereka punya yang namanya hak interpelasi atau hak angket. Selama masa pemerintahan SBY-JK, hitung-hitung paling tidak sudah tiga kali hak interpelasi mau digunakan oleh wakil rakyat.

Sewaktu harga BBM mau dinaikkan untuk kedua kalinya pada tahun 2005, wakil rakyat kita ribut mau mengajukan hak interpelasi. Kenaikan harga BBM mau "diusut" habis-habisan. Tapi sayang hak istimewa itu tidak jadi digunakan, RAPBN 2005 disetujui DPR termasuk harga BBM. Juga termasuk gaji wakil rakyat dinaikkan.

Tak lama kemudian menyusul lagi, ada keinginan beberapa anggota DPR dan fraksi mau mengunakan interpelasi tentang teleconference presiden dari luar negeri. Konon biayanya terlalu mahal. Namun, sayang lanjutannya juga jadi "memble" di tengah jalan. Yang terakhir dan cukup panas, yaitu rencana hak interpelasi wakil rakyat soal impor beras. Beritanya heboh berhari-hari di media massa.

Tapi, yang terjadi kemudian, setelah ada lobi sana-sini, menteri dari parpol dipanggil dan dikumpul oleh presiden, tidak lama kemudian, di rapat paripurna, DPR memutuskan hak interpelasi impor beras tidak jadi digunakan. Jadi sekarang ada fenomena baru di Senayan.

Sudah tiga kali ada hentakan wakil rakyat mau bikin interpelasi, heboh sebentar, tapi kemudian tidak jadi dilakukan. Rakyat awam lalu memahaminya hanya sebagai gertak sambal saja. Barangkali memang wakil rakyat kita perlu tambah sebuah hak baru, namanya hak gertak. 

----------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Gelitik :: Fuad Rumi
http://groups.yahoo.com/group/pelajar_islam_indonesia/message/6957?var=1

Gelitik: Cicak dan Nyamuk Antikorupsi

Oleh Fuad Rumi



Seekor cicak diam terpaku di dinding sebuah rumah. Beberapa nyamuk beterbangan tidak menggugah seleranya. Seekor nyamuk betina memberanikan diri semakin dekat sembari bertanya. “Hai cicak ganteng kenapa loyo sekali tampaknyan lapar ya?”
“Ya, saya lapar nih. Sudah lama belum makan,” jawab sang cicak.

“Hah? Bukankan di sekitarmu banyak nyamuk yang biasa kau mangsa? Apakah kamu sakit gigi atau kamu patah hati,” tanya nyamuk.
 

“Tidak, aku tidak sakit. Aku ragu-ragu memakan kamu.”
“Kenapa ragu cicak? Apa penyebabnyan aku tidak mengerti?”
“Baiklah nyamuk, aku buka rahasia. Aku ragu dalam tubuhmu mengalir darah koruptor. Aku tidak mau darahku bercampur unsur yang tidak halal,” kata cicak.

Singkat cerita nyamuk bertanya apa sebabnya. “Aku banyak belajar dari manusia soal halal dan haram,” kata cicak.
 

“Oh begitu itu sebabnya kau ragu aku baru saja memangsa darah koruptor. Tapi kamu nanti bisa mati kelaparan kalau begini,” kata nyamuk.
“Ah tidaklah. Aku tidak akan mati hanya karena tidak makan yang haram. Bukankah Tuhan sudah menjamin rezeki seluruh mahluknya,” kata sang cicak.
 

“Tapi bukankah hal haram dan halal itu hanya berlaku bagi manusia.?
“Benar. Tapi cobalah terbang berkeliling dan perhatikan manusia. Hukum halal haram sudah hampir mereka campakkan. Jadi mending prinsip halal dan haram kita yang pakai.”
 

“Benar juga katamu cicak. Aku juga mau ajak kawan kawanku tidak mengisap darah koruptor.”
“Baguslah nyamuk, mari kita menjadi lebih manusiawi. Biarlah manusia yang menjadi hewani hehehehehe,” ujar cicak. (Dikutip dari naskah gelitik fuad rumi di harian Fajar makassar)


---------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Kompasiana | Opini, 22 July 2011| 09:24
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/07/22/cicak-dan-nyamuk-antikorupsi/






Gelitik: Polusi Dusta


oleh Fuad Rumi pada 11 Januari 2010 jam 23:56

Satu hal yang membuat kehidupan manusia penuh dengan masalah pelik yaitu dusta. Dusta berseliweran lebih banyak dan lebih kacau dari lalu-lintas kendaraan. Akhirnya, manusia dimakan oleh dustanya sendiri.

Mungkin tidak ada manusia yang luput dari berbuat dusta, kecuali para nabi. Apalagi kalau orang berbuat jahat, pasti juga banyak berdusta, terutama untuk menutupi kejahatannya.

Koruptor pasti berdusta, mulutnya dan tingkah lakunya. Kalau ia terjerat hukum, lebih-lebih lagi, dustanya akan beranak-pinak. Orang yang berselingkuh juga pasti berdusta. Pasangan selingkuhnya dia dustai, pasangan hidupnya dia dustai, anak dan keluarganya dia dustai. Dan sejak dia berselingkuh, dustanya juga beranak-pinak melebihi anak-anaknya sendiri.

Politikus? Wah, untuk yang satu ini malah ada yang berkata kalau tidak bisa berdusta tidak bisa jadi politikus. Makanya, ketika ada yang mengatakan itulah politik, maksudnya jangan heran jika ada dusta di situ.

Walhasil dusta memang ada di mana-mana, mengepung kita. Dusta menjadi polusi kemanusiaan dan kebudayaan yang tiada taranya. Manusia dibuat bingung oleh dusta di mana-mana.

Ada pembeli berkata pada penjual, tolong dikurangi sedikit harganya, uang saya hanya sepuluh ribu. Penjual bilang, maaf tidak bisa, modalnya saja sudah dua belas ribu. Padahal dua-duanya dusta. Itu sedikit contoh interaksi dusta yang sudah umum dan dianggap lumrah. Itu semacam contoh dusta kecil yang sudah dimaklumi kebanyakan orang.

Kalau mau menyaksikan dusta besar dalam urusan besar, ikuti dan cermati saja kasus Centurygate yang sekarang ini sedang diselidiki oleh Pansus DPR. Saksikan bagaimana interogasi dilakukan oleh anggota Pansus dengan mereka yang dipanggil.

Pasti di sana dusta muncrat melebihi muncratnya ludah para pendusta ketika bicara. Ketika mereka berdusta, adakalanya kita ikut geram mendengarnya, terkadang juga malah geli. Kita geram jika ingat banyaknya uang rakyat yang ditelikung oleh dusta mereka. Kita jadi geli ketika orang-orang pintar itu menunjukkan gaya berlagak bodoh atau pilon. Beberapa di antara anggota pansus hampir-hampir tidak bisa menahan diri dan marah.

Kasus Century itu menjadi semakin pelik karena adakalanya dusta yang satu berbenturan dengan dusta yang lain dan pada kesempatan lain dusta yang satu berkolaborasi dengan dusta lainnya. Tak bisa tidak, dusta-dusta di balik kasus Century harus terungkap seterang-terangnya dan sejelas-jelasnya. Tapi mungkinkah? Mungkinkah dusta yang menjadi racun kasus tersebut bisa diungkap semuanya?

Harapan kita tentu harus bisa. Asal saja para anggota pansus mau sungguh-sungguh membongkarnya secara politis dan KPK mau dan berani memprosesnya hingga tuntas. Jangan sampai pansus juga justru menyimpan dusta tersendiri. Kalau itu yang terjadi, maka lengkaplah sudah jagad dusta negeri kita, membuat rakyat negeri ini sesak nafas. Sesak nafas bukan hanya karena penyakit, kemiskinan yang menghimpit dan polusi lingkungan fisik, tapi juga karena polusi dusta yang sudah melebihi ambang batas martabat kemanusiaan.

-----------------------------------------------------------------------------------------------
Terbit di Harian Fajar, 8-1-2010.
http://www.fajar.co.id/index.php?option=news&id=78293
http://www.facebook.com/note.php?note_id=284235852924





Gelitik: Pohon Akasia dan Korupsi


oleh Fuad Rumi pada 23 Januari 2010 jam 19:03

Hujan mengguyur bumi sangat lebat. Angin bertiup kencang. Kilat menyambar, guntur menggelegar. Pohon-pohon dengan susah payah bertahan dari terpaan angin.

Sebuah pohon akasia tumbang di pinggir jalan. Padahal sebelumnya ia tampak kokoh berdiri. Daunnya rimbun, batangnya kuat, dahan dan rantingnya segar. Tapi ia tumbang tak berdaya. Bukan batangnya yang patah, tapi akarnya yang tercerabut dari tanah.
Sebuah pohon akasia lain yang tidak ikut tumbang menyalahkan angin,"hei angin, gara-gara engkau kawanku jadi tumbang, engkau harus bertanggung jawab".

"He he he jangan gampang menyimpulkan dan menuduh kawan, temanmu itu rubuh bukan karena aku, tapi salah dia sendiri. Buktinya ya kamu sendiri dan pohon-pohon lain yang tidak tumbang. Kan semua juga tertiup olehku, tapi tidak tumbang. Berarti temanmu yang tumbang itu bukan karena aku, tapi karena kesalahan dirinya sendiri".

"Wah aku tidak mengerti cara berfikirmu angin. Faktanya, kau yang bertiup kencang lalu kawanku tumbang. Padahal sewaktu engkau bertiup biasa-biasa saja, dia tetap berdiri anggun. Jadi itu pasti karena kau. Pokoknya engkau harus bertanggung jawab. Kalau kau ngotot menyangkal, saya akan galang pembentukan pansus, ini sudah jelas krisis angin sistemik".

"Menggelikan sekali kamu kawan, sudah tidak mau mengakui kesalahan sendiri, ikut-ikutan manusia lagi bilang sistemik dan mau bikin pansus. Nanti kalau pansusnya memble, aku lagi yang dibawa-bawa, dikatakan pansus masuk angin".

"Apa boleh buat, memang harus begitu, karena kau betul-betul angin, angin-anginan dan sulit dipegang kata-katanya".

"Sudahlah kawan, tidak usah berbelit-belit. Ini bukan urusan pansus-pansusan. Ini juga bukan karena ada angin ribut. Lihat saja temanmu yang tumbang itu. Betul dari luar dia tampak rimbun dan tidak ada cacat. Tapi dia tumbang karena akarnya putus".

"Tapi yang bikin putus akarnya kan kamu? Kau tiup dia kencang sekali, kau goyang dia".

"Tunggu dulu kawan, jangan langsung menyela, kamu kayak anggota pansus betulan. Akar kawanmu itu memang lapuk dan sudah membusuk. Bahkan tidak hanya pada akarnya, tapi sudah menjalar ke bagian dalam batangnya. Akarnya lapuk, batangnya juga lapuk di dalam. Itulah penyebabnya".

"Tapi kenapa dia lapuk? Bukankah dia seperti aku, tumbuh gagah dan rimbun seperti ini?"

"Ya memang seperti itu, di luar tampak gagah tapi di dalam lapuk. Soal tumbangnya sudah pasti, tinggal tunggu waktu, bukan karena angin".

"Kalau begitu maaf deh angin, aku sudah sadar sekarang. Wah bahaya juga pelapukan itu ya?".

"Memang bahaya. Itulah yang dinamakan akibat korupsi".

"Lho kok korupsi? Apa hubungannya dengan korupsi. Pohon lapuk akar dan batangnya kok disebut korupsi?".

"He he he korupsi itu asal katanya bahasa Latin, corruptio, artinya melapuk".

"Jadi, kalau manusia korupsi itu juga melapuk? Bagaimana itu?"

"Betul sekali, manusia yang korupsi itu, adalah orang yang lapuk di dalam seperti temanmu yang tumbang ini. Nuraninya yang lapuk".


--------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
Kolom Gelitik - Harian Fajar 22 Januari 2010
http://www.facebook.com/note.php?note_id=305054912924